Jumat, 19 Juli 2013

Soal Sudut Pandang. II (habis)

Beribadah kok kayak dukun aja.
Acaranya saling mengobati hati.

Kalo anak menjadi nakal.
Kalo anak menjadi resistan (baca: perlawanan)

Jangan-jangan..
Sama adat nya.

Namun.

Sepenggalan cerita yang harus di suarakan. Pemberontakan (baca: rebelution), melihat antrian untuk mendaparkan se-onggok uang triliyunan. Yah kalo tidak dapat pun tidak sampai terhimpit hingga kepalanya terantuk. Apalagi sampai mati di stadion sportivisme.

Gejala perlawanan yang di lakukan oleh ketidak berdayaan merasakan sakit nya lagi kelemahan, sehingga mengantri pun harus sampai mengantri seperti masuk kakus (baca: WC). Hilang nya kasus-kasus kakap dan orang baik yang terpenjarakan suara dan jiwa nya. Menambah lagi berita.
Jargon pemuda sebagai agent of change, agen of control (baca: kendali sama seperti jargon-jargon sayembara untuk memasuki Dewan Perwakilan Rakyat). Yang di adakan oleh Istana Demokrasi injak-menginjak. Yang tua dan yang muda sama saja. Sampai-sampai anak kecil pun mengerti. Kenapa harus puasa di siang hari dan tidak buka di cafe-cafe kota sampai cafe remang-remang untuk sahur. Sungguh bahayanya pertelevisian yang tidak ada lagi saluran penangkal dari invasi (baca: serudukan) propaganda Yahudi dan negara-negara maju di barat nun terbelakang mental dan moral nya.

 

Tambah Gaduh.

Sampai akhirnya, kejenuhan, sehingga kehilangan cita dan asa untuk menjadi orang bebas. Yaak !!. Bebas akan terkaman serigala tua, gong-gongan labrador, feses tikus got.
Suara-suara di Istana di Instansi-Instansi makin seperti suara sumbang namun bahenol menghipnotis masyarakat galau.
Lebih menghisap, lebih lagi dari lapindo berbaju kuning wong kito galo. Untuk bertahan dari terkaman media yang di kuasai sistem tata kelola informasi dari kementerian berbaju jihad palestina dengan songkok bung karno nya, namun she olah gambar-gambar pejuang yang dulu dibaca di kala Sekolah dasar.
Aku mengenal pattimura, dengan jenggot manis nya, aku melihat muka sultan Hasanuddin yang menaiki kuda bak Ali Ibnu Thalib dari ayam jago timur nusantara. Aku melihat kecantikan Cut Nyak Din, dikala memakai kerudung jingga layak nya siti aisyah.
APA LAGI …….
..
.
…..
Suara pembebasan itu terus menggelora bak upper cut Muhammad Ali. Layak nya singa Padang Pasir, (baca: Singga Padang Pasir, yang hanya diam untuk mengawasi musuhnya) .
Ooooooooh..
Betapa Merah nya Amarah ini.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!

 

SEMUA NYA AKAN BAIK-BAIK SAJA.

Catatan, demi catatan kujejak-kan. Walaupun mereka tak pernah melihat karakter diri ku dengan semua Pahlawan-Pahlawan ku.
Kepada Datuk Tan Malaka yang mengenal kan Ku pada pasir-pasir Nusantara di tempat pembuangan Sutan Shjarir dan BOENG Hatta.

” Aku hanya seorang yang tak mungkin mengenal jejak-jejak anjing-anjing Rezim ini”.

Ternyata Jendral Sudirnan, memang sudah mematung. Tangannya Tak Mengangkat Hormat pada mu. Bagaikan Benteng Tantaka Tawa pagar-pagar kayu halaman Istana Negara. Is Susi Lo kenal sebagai Kepala Kaisar keluarga yang Maha Berdemokrat bak perpaduan Cleopatra dan sang pangeran dari negeri bar-bar bak Conan.

Ooh.

Sungguh sayang, dan elok Banteng Kantata yang menghadap ke arah ku.
Wahai prajurit dan jendral-jendarl Tanah Air.
….
Tanah Air Tumpah DARAH KU. !!!!!

Oh..

Jangan Kau takuti KAMI ( baca: Proletariat Negara) dengan Moncong SENJATAMU !!!!!


Oh.mmmhhm!!!

The hyprocit. (Baca: hiprokasi). !!!

Oh Tentara mu.

Selamat Malam.

Wasalam.
Salemba, Raya.

Jummat Yang Agung .

 Teruntuk padi yang menguning.
Teruntuk daun yang menghijau.
Teruntuk benih yang tertanam.
Menghijau llah.


 Agung. Tuanany.


nb: tulisan ini pun telah di muat di kompasiana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar





Agung Tuanany

Salemba Raya
Penajra Bau-Tanah